Pagi hari saat
ini, Kraton Negeri Kahyangan bermandi kuning sutera sinar mentari. Bunga warna
warni di atas jambangan marmer, sepanjang jalan berlantai permadani merah
meliukan kelopaknya di terpa angin gunung yang sepoi meneyegarkan para dayang
kerajaan yang asyik bercengkerama satu dengan lainnya. Nyanyi burung pipit,
kenari dan murai menambah sejuknya suasana pagi indah di lingkungan Kraton
Jongring Saloko. Nampaknya mereka semua telah seia sekata dalam janji untuk
menyongsong hari ini dengan mengusung sebuah asa untuk hidup secara damai
tentram dan bahagia.
Namun mereka
semua tidak mengerti benar tentang apa yang tersimpan di benak Dewa Ismoyo,
yang sedang getir hatinya menyaksikan sendiri ulah “titah sawantah”
(manusia pada umumnya), yang semakin
menipis nilai moralitasnya dari hari ke hari. Terutama di negeri yang
berbatasan dengan dua samudra, yang dilimpahi oleh Tuhan yang Kuasa dengan limpahan keindahan, keasrian,
kekayaan alam yang tidak dapat ditandingi negeri lainnya.
Sang Ismoyo
menjadi bertambah perih sanubarinya, tatkala menyakskan sendiri kepiawaian para
petinggi di negeri itu yang menghisap peluh, keluh dan resah rakyatnya sendiri.
Mereka dengan susah payah membayar upeti, di tengah kehidupan mereka sendiri
yang semakin mennenggelamkanya, namun hasil pengumpulan upeti tersebut malah
dinikmati sendiri oleh para petinggi bejat mereka sendiri. Rakyat kecil hidup di gubug bambu beratap ilalang, tetapi petinggi bejat itu hidup di
gedong berlantai marmer dengan kuda kuda tunggangan berbulu putih bersih.
Bahkan perilaku seperti itu hingga pagi ini, masih terus melekat kuat dalam
diri mereka. Bahkan semakin mereka tidak tahu malu.
Padahal negeri 2
samodra (Archipelago) tersebut pernah dicengkeram kedzoliman pasukan Rahwana
yang bengis, rakus dan tidak mengenal rasa kemanusiaan. Berkat tetesan darah,
air mata dan harta dari para “satria pilih tanding”, negeri itu kini sudah
Hal
2
merdeka. Saat
itu Sang Ismoyo mampu tersenyum lepas, dadanya
berguncang hebat sehingga kuncung yang berada di atas batok kepalanya hampir
lepas.
Namun apa daya,
telah lebih dari setengah abad lamanya, negeri itu bukanya menjadi negeri yang gemah
ripah loh jinawi tata tentrem kerto raharjo seperti negeri kahyangan. Melainkan
menjadi sebuah negeri bergincu bibir dan berpupur saling meradang dan menyerang
antara kawula satu dengan lainnya, hampir tiap hari terjadi saling serang
antara punggawa negeri dengan “kawula alit”. Bahkan tidak jarang permusuhan di
atas menimbulkan korban jiwa. Senyum berseri Dewa Ismoyo kini hilang terhempas
angin kembara.
Maka pagi hari
ini, Sang Ismoyo dengan tergopoh gopoh berniat menghadap Sang Hyang Guru,
adiknya sendiri yang menjadi penguasa tunggal Kahyangan Jonggring Saloko.
Mereka kini telah berhadapan dengan renyah senyum bersanding teh hangat bergula
kelapa yang lezat.
“Selamat pagi,
Kakanda Ismoyo !, mohon segera menyampaikan hasrat kakanda pagi pagi benar berkenan menghadap kami “
“Bila ada luka
yang disiram air cuka, itupun tidak
seperih luka dalam dada ini, dinda Guru !. Bila ada bukit yang memiliki berat
selaksa, tidak ada yang lebih berat dari beban hati aku yang terus bertambah
tiap detik…!” seru Sang Ismoyo yang bertatap mata kosong namun terus saja
mengarahkan sorot matanya jauh ke depan.
“Aduh kakanda,
aku tidak tahu maksud hati kakanda !. Mohon jelaskan dengan gambling. Hal apa
yang menyelinap dalam kalbu kakanda !. Barangkali adinda mampu membantu
menguraikan kemusykilan hati kakanda “.
Dedaunan yang
merindangi Kraton Jonggring Saloko serta nyanyian burung burung kini
diam membisu, saat sepatah demi sepatah kata Sang Ismoyo melontarkan tentang
Hal
3
kebusukan para
penghuni negeri Archipelago di Arcapada. Mata ke dua Dewa yang
diagungkan titah sawantah menjadi berkaca kaca. Mereka kecewa mengapa negeri
Archipelago yang dahulu disebut Negeri Kahyangan kini tak ubahnya seperti
negeri Ngalengka yang dipimpin Prabu Rahwana.
“Padahal selama
berabad Adinda Bromo, Suryo, Chandra, Kamajaya dan dewa lainya telah
menjalankan tugas member pecerahan pada kawula di Negeri Kahyangan itu, kakanda
!”
“Akan percuma
saja bila adinda terus melakukan itu, hati kawula di negeri itu sudah mengeras,
sekeras batu karang di lautan, adinda !” jawab Sang Ismoyo.
“Lantas apa yang
akan kakanda perbuat dengan negeri yang panas ini !” tanya Sang Hyang Guru
yang kini menjadi khawatir hatinya.
“Itulah maksud
kedatangan kakanda pagi ini menghadap. Aku memohon persetujuan adinda tentang
hasrat hati aku yang sudah tidak bisa dtunda tunda lagi, adinda !” jawab Dewa
Ismoyo.
“Aduh tak bisa
adinda ucapkan, betapa bangga dan rasa
terimakasih adinda. Adinda percaya setiap hasrat kalbu kakanda, pasti membawa
manfaat yang agung demi alam semesta ini “
“Adinda, ijinkan
kakanda turun ke Arcapada, Kakanda akan melarut dengan kawula di negeri panas
itu “ pinta Sang Hyang Ismoyo.
“Apa kenikmatan
Kahyangan Jonggring Saloko menyebabkan Kakanda Ismoyo tidak betah tinggal di
dalamnya “ tanya Sang Hyang Guru.
“Bukan begitu
adinda, kakanda mempunyai gagasan apabila batu karang sekeras apapun
Hal
4
akan mampu pecah
bila setiap hari ditetesi air sejuk. Begitu juga kawula di Arcapada Negeri
Kahyangan yang sudah mengeras, apabila mereka diberi pencerahan setiap saat
mulai dari para petinggi dan ksatria “
“Aku khawatir
kakanda !”
“Adinda sudah
menjadi tugas kakanda demi mencapai keagungan diri kakanda dan para kawula,
agar Swargaloka mampu menjadi tempat tinggal kita yang terakhir.Inilah
pengorbanan kita semua, mohon adinda berkenan dan menyadarinya “
Sang Hyang Guru
tidak mampu mencegah hasrat mulia Sang Ismoyo ***