Senin, 11 Juni 2012

Negeri Kahyangan yang Bernyanyi Pilu


Pagi hari saat ini, Kraton Negeri Kahyangan bermandi kuning sutera sinar mentari. Bunga warna warni di atas jambangan marmer, sepanjang jalan berlantai permadani merah meliukan kelopaknya di terpa angin gunung yang sepoi meneyegarkan para dayang kerajaan yang asyik bercengkerama satu dengan lainnya. Nyanyi burung pipit, kenari dan murai menambah sejuknya suasana pagi indah di lingkungan Kraton Jongring Saloko. Nampaknya mereka semua telah seia sekata dalam janji untuk menyongsong hari ini dengan mengusung sebuah asa untuk hidup secara damai tentram dan bahagia.

Namun mereka semua tidak mengerti benar tentang apa yang tersimpan di benak Dewa Ismoyo, yang sedang getir hatinya menyaksikan sendiri ulah “titah sawantah” (manusia pada umumnya),  yang semakin menipis nilai moralitasnya dari hari ke hari. Terutama di negeri yang berbatasan dengan dua samudra, yang dilimpahi oleh             Tuhan yang Kuasa dengan limpahan keindahan, keasrian, kekayaan alam yang tidak dapat ditandingi negeri lainnya.

Sang Ismoyo menjadi bertambah perih sanubarinya, tatkala menyakskan sendiri kepiawaian para petinggi di negeri itu yang menghisap peluh, keluh dan resah rakyatnya sendiri. Mereka dengan susah payah membayar upeti, di tengah kehidupan mereka sendiri yang semakin mennenggelamkanya, namun hasil pengumpulan upeti tersebut malah dinikmati sendiri oleh para petinggi bejat mereka sendiri. Rakyat kecil  hidup di gubug bambu beratap  ilalang, tetapi petinggi bejat itu hidup di gedong berlantai marmer dengan kuda kuda tunggangan berbulu putih bersih. Bahkan perilaku seperti itu hingga pagi ini, masih terus melekat kuat dalam diri mereka. Bahkan semakin mereka tidak tahu malu.

Padahal negeri 2 samodra (Archipelago) tersebut pernah dicengkeram kedzoliman pasukan Rahwana yang bengis, rakus dan tidak mengenal rasa kemanusiaan. Berkat tetesan darah, air mata dan harta dari para “satria pilih tanding”, negeri itu kini sudah
Hal 2
merdeka. Saat itu Sang Ismoyo mampu tersenyum  lepas, dadanya berguncang hebat sehingga kuncung yang berada di atas batok kepalanya hampir lepas.

Namun apa daya, telah lebih dari setengah abad lamanya, negeri itu bukanya menjadi negeri yang gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerto raharjo seperti negeri kahyangan. Melainkan menjadi sebuah negeri bergincu bibir dan berpupur saling meradang dan menyerang antara kawula satu dengan lainnya, hampir tiap hari terjadi saling serang antara punggawa negeri dengan “kawula alit”. Bahkan tidak jarang permusuhan di atas menimbulkan korban jiwa. Senyum berseri Dewa Ismoyo kini hilang terhempas angin kembara.

Maka pagi hari ini, Sang Ismoyo dengan tergopoh gopoh berniat menghadap Sang Hyang Guru, adiknya sendiri yang menjadi penguasa tunggal Kahyangan Jonggring Saloko. Mereka kini telah berhadapan dengan renyah senyum bersanding teh hangat bergula kelapa yang lezat.

“Selamat pagi, Kakanda Ismoyo !, mohon segera menyampaikan hasrat kakanda pagi  pagi benar berkenan menghadap kami “

“Bila ada luka yang disiram air cuka,  itupun tidak seperih luka dalam dada ini, dinda Guru !. Bila ada bukit yang memiliki berat selaksa, tidak ada yang lebih berat dari beban hati aku yang terus bertambah tiap detik…!” seru Sang Ismoyo yang bertatap mata kosong namun terus saja mengarahkan sorot matanya jauh ke depan.

“Aduh kakanda, aku tidak tahu maksud hati kakanda !. Mohon jelaskan dengan gambling. Hal apa yang menyelinap dalam kalbu kakanda !. Barangkali adinda mampu membantu menguraikan kemusykilan hati kakanda “.

Dedaunan yang merindangi Kraton Jonggring Saloko serta nyanyian burung burung kini diam membisu, saat sepatah demi sepatah kata Sang Ismoyo melontarkan tentang
Hal 3
kebusukan para penghuni negeri Archipelago di Arcapada. Mata ke dua Dewa yang diagungkan titah sawantah menjadi berkaca kaca. Mereka kecewa mengapa negeri Archipelago yang dahulu disebut Negeri Kahyangan kini tak ubahnya seperti negeri Ngalengka yang dipimpin Prabu Rahwana.

“Padahal selama berabad Adinda Bromo, Suryo, Chandra, Kamajaya dan dewa lainya telah menjalankan tugas member pecerahan pada kawula di Negeri Kahyangan itu, kakanda !”

“Akan percuma saja bila adinda terus melakukan itu, hati kawula di negeri itu sudah mengeras, sekeras batu karang di lautan, adinda !” jawab Sang Ismoyo.

“Lantas apa yang akan kakanda perbuat dengan negeri yang panas ini !” tanya Sang Hyang Guru yang kini menjadi khawatir hatinya.

“Itulah maksud kedatangan kakanda pagi ini menghadap. Aku memohon persetujuan adinda tentang hasrat hati aku yang sudah tidak bisa dtunda tunda lagi, adinda !” jawab Dewa Ismoyo.

“Aduh tak bisa adinda  ucapkan, betapa bangga dan rasa terimakasih adinda. Adinda percaya setiap hasrat kalbu kakanda, pasti membawa manfaat yang agung demi alam semesta ini “

“Adinda, ijinkan kakanda turun ke Arcapada, Kakanda akan melarut dengan kawula di negeri panas itu “ pinta Sang Hyang Ismoyo.

“Apa kenikmatan Kahyangan Jonggring Saloko menyebabkan Kakanda Ismoyo tidak betah tinggal di dalamnya “ tanya Sang Hyang Guru.

“Bukan begitu adinda, kakanda mempunyai gagasan apabila batu karang sekeras apapun
Hal 4
akan mampu pecah bila setiap hari ditetesi air sejuk. Begitu juga kawula di Arcapada Negeri Kahyangan yang sudah mengeras, apabila mereka diberi pencerahan setiap saat mulai dari para petinggi dan ksatria “

“Aku khawatir kakanda !”

“Adinda sudah menjadi tugas kakanda demi mencapai keagungan diri kakanda dan para kawula, agar Swargaloka mampu menjadi tempat tinggal kita yang terakhir.Inilah pengorbanan kita semua, mohon adinda berkenan dan menyadarinya “

Sang Hyang Guru tidak mampu mencegah hasrat mulia Sang Ismoyo ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar