Senin, 11 Juni 2012

Merah Putih Yang Mengusam Warnanya


Kita tidak mampu membayangkan lagi berapa korban jiwa, harta dan air mata guna eksistensi Merah Putih di Bumi Pertiwi ini, sejak menjadi salah satu simbol kenegaraan kita. Kegagahannya masih tertoreh di sejarah berlangsungnya kehidupan bangsa ini.Namun kejernihan warna putihnya telah dilusuhi segenap anak bangsa yang telah kehilangan moralitasnya.
           
Yang lebih memprihatinkan realitas ini adalah hilangnya moralitas pada oknum pejabat/ pemimpin nasional yang telah mengikis budaya malu yang harusnya dikedepankan, demi nasib si kecil yang lagi terhimpit hidupnya. Bahkan tidak tanggung lagi,kasus kerusuhan Kojapun menjadi bukti telah hilangnya budaya rembug dengan kepala dingin dan dada lapang.
           
Sama sekali kita tak beranjak kaget kala mendengar dan melihat tayangan multimedia tentang pendoliman uang negara yang dilakukan oleh Gayus dan jaringan yang memusarinya. Lantaran sudah menjadi sarapanRakyat Indonesia dewasa ini, yang berupa tayangan berbagai tindak pendoliman hukum negara yang dilakukan oknum pejabat/mantan pejabat nasional. Kitapun tidak terkejut pula ketika mendengar pernyataan mantan Kabareskrim Mabes Polri Susno Duaji tentang masih banyak Gayus di Dirjen Pajak Depkeu RI, yang hingga saat ini belummengikuti festival tembang di tengah audienc yang keranjingan sebuah peradaban baru.
           
Bukan hanya diera reformasi saja pendoliman semacam ini dilakukan, tepatnya pada masa Orde Lama Tahun  1951 – 1956, wartawan  Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar. mengendus sebuah tindak korupsi yang dilakukan Ruslan Abdulgani (Menteri Luar Negeri era PM Ali Sastroamidjojo). Pemberitaan dugaan korupsi Ruslan Abdulgani menyebabkan sebuah koran yang mengeksposenya  kemudian di bredel. Pendoliman yang dilakukan sang menlu itu, adalah berdasarkan pengakuan Lie Hok Thay yang memberikan satu setengah juta rupiah kepada Ruslan Abdulgani, untuk mendapatkan tender  ongkos cetak kartu suara pemilu. Kasus tersebut disemat sebagai Kasus14 Agustus 1956.
           
Tindak pidana korupsipun tak luput dilakukan oleh negarawan besar  pendiri Orde Baru. Kita akui bersama bahwa kala itu Soeharto berhasil  melakukan perubahan besar pada beberapa sektor, seperti  pendidikan, keluarga berencana, kesehatan , keamanan dan stabilitas politik,  keutuhan wilayah Indonesia.

Selama negarawan yang piawai ini menanamkan rezimnya terdapatnya kebocoran anggaran negara sebesar 30 % , sebagai akibat budaya korupsi yang  diidap  oknum mpejabat negara dari bawah hingga pusat, menyebabkan kian terperosoknya  Indonesia  dalam badai krisis dan Soehartolah yang  pertama kali dituding sebagai penyebab kehancuran ekonomi Indonesia.. Sehingga  pada Tahun 1977  terjadilah gelombang demo besar – besaran yang menuntut pengunduran diri Soeharto.  Termasuk tuntutat Soeharto atas tuduhan korupsi selama 30 tahun, melalui yayasan – yayasan yang didirikan keluarga Soeharto.

Hasil penyidikan kasus tujuh yayasan Soeharto menghasilkan berkas setebal 2.000-an halaman. Berkas ini berisi hasil pemeriksaan 134 saksi fakta dan 9 saksi ahli, berikut ratusan dokumen otentik hasil penyitaan dua tim yang pernah dibentuk Kejaksaan Agung, sejak tahun 1999. Menurut Transparency International, Soeharto menggelapkan uang dengan jumlah terbanyak dibandingkan pemimpin dunia lain dalam sejarah dengan perkiraan 15–35 miliar dolar A.S. selama 32 tahun masa pemerintahannya

Bukan sang jenderal yang murah senyum itu saja, tetapi oknum pejabat lainnya telah berhasil diendus melakukan pendoliman uang Negara,  terbukti pada 17 Oktober 2006, Kejaksaan Agung Republik Indonesia mulai menayangkan foto dan menyebarkan data para buronan tindak pidana korupsi yang putusan perkaranya telah berkekuatan
hukum tetap. Data dan foto 14 belas koruptor tersebut direncanakan ditayangkan di televisi dan media massa dengan frekuensi seminggu sekali.                

Specifikasi pemberantasan  tindak pidana pendoliman uang negara di era SBY adalah  sikapnya yang tidak melakukan intervensi kekuasaan kepada aparat penegak hukum (KPK dan Kejaksaan Agung RI). Kinerja instrument SBY dalam membrantas Gayus-Gayus lain telah terbukti secara signifikan, salah satu contohnya adalah ketika jaksa Urip Tri Gunawan tertangkap tangan KPK, saat menerima uang suap sekitar Rp 5,8 miliar,guna memetieskan kasus BLBI.

Bila kita cermati kasus-kasus di atas, terdapat suatu indikasi bahwa moralitas para oknum pemimpin nasional telah  mengalami degradasi dari rezim satu ke rezim lainnya, sebagai suatu bentuk pembunuhan karakter bangsa yang santun, ramah dan berbudaya luhur serta tidak meninggalkan budaya malu. Namun karakter bangsa yang telah membahana ke tiap pelosok dunia ini, telah berubah menjadi suatu karakter bangsa yang anarkis, degradasi moralitas hingga terkikisnya budaya malu nasional, maraknya White Collar Crime , hedonisme dan seabreg perlilaku yang membentuk peradaban baru (New Civilisation).

Peradaban dapat juga digunakan dalam konteks luas untuk merujuk pada seluruh atau tingkat pencapaian manusia dan penyebarannya (peradaban manusia atau peradaban global). Istilah peradaban sendiri sebenarnya bisa digunakan sebagai sebuah upaya manusia untuk memakmurkan dirinya dan kehidupannya. Maka, dalam sebuah peradaban pasti tidak akan dilepaskan dari tiga faktor yang menjadi tonggak berdirinya sebuah peradaban. Ketiga faktor tersebut adalah sistem pemerintahan, sistem ekonomi, dan IPTEK.
Urgensi pencapaian kesejahteraan hidup suatu masyarakat berdasar nukilan wacana definisi peradaban terebut, memang telah bergulir bagitu saja, bersama dengan dengan sikap mental “gayus” yang serba ingin menggapai kelezatan duniawi secara instant. Dan kasus demikian telah menjadi hal yang biasa bagi sebagian oknum yang memiliki kesempatan melakukannya. Alasan tersebutlah yang mencendrungi terbentuknya sebuah peradaban baru di era modernisasi Bangsa Indonesia. Sebuah peradaban yang memiliki ciri hilangnya rasa malu nasional dan tendensi pendoliman uang negara, yang melibatkan institusi. Sutherland  ( 1994 ) menyatakan terdapat kekhasan tentang tindak pendoliman hukum yang dilakukan oleh oknum pejabat ( white collar crime ), yaitu dilakukan oleh pihak yang memiliki status sosial tinggi, menyertakan kelembagaan tetapi jauh panggang dari api terhadap misi awal lembaganya yang diusung. Sehingga yang tertanam dalam diri kita, sebagai anak bangsa yang mendambakan negara yang sentosa tentunya praktek pendoliman model “gayus” haruslah segera dibumikan.

Betapa tidak selama Perioda 2004 s / d 2008, uang negara yang telah diselamatkan dari tindak pendiliman ini, adalah  ± 8, 4 trilyun rupiah (Kejaksaan RI, 2009). Tentunya jumlah ini akan membengkak bila kita analisis selama perioda 2008 hingga sekarang

Langkah terpadu dan tepat, dalam koridor transparansi dan independensi perangkat keras pembumi-hangusan pendoliman (KPK, Kejaksaan RI dan POLRI) harus serasi derngan perangkat lunak yang mampumenginternal ( moralitas). Guna penyelamatan negara kita dari life style hedonisme yang menjadisebuah peradaban baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar