Kita tidak mampu membayangkan lagi berapa korban
jiwa, harta dan air mata guna eksistensi Merah Putih di Bumi Pertiwi ini, sejak
menjadi salah satu simbol kenegaraan kita. Kegagahannya masih tertoreh di
sejarah berlangsungnya kehidupan bangsa ini.Namun kejernihan warna putihnya
telah dilusuhi segenap anak bangsa yang telah kehilangan moralitasnya.
Yang lebih memprihatinkan realitas ini adalah
hilangnya moralitas pada oknum pejabat/ pemimpin nasional yang telah mengikis
budaya malu yang harusnya dikedepankan, demi nasib si kecil yang lagi terhimpit
hidupnya. Bahkan tidak tanggung lagi,kasus kerusuhan Kojapun menjadi bukti
telah hilangnya budaya rembug dengan kepala dingin dan dada lapang.
Sama sekali kita tak beranjak kaget kala mendengar
dan melihat tayangan multimedia tentang pendoliman uang negara yang dilakukan
oleh Gayus dan jaringan yang memusarinya. Lantaran sudah menjadi sarapanRakyat
Indonesia dewasa ini, yang berupa tayangan berbagai tindak pendoliman hukum negara
yang dilakukan oknum pejabat/mantan pejabat nasional. Kitapun tidak terkejut
pula ketika mendengar pernyataan mantan Kabareskrim Mabes Polri Susno Duaji
tentang masih banyak Gayus di Dirjen Pajak Depkeu RI, yang hingga saat ini
belummengikuti festival tembang di tengah audienc yang keranjingan sebuah
peradaban baru.
Bukan hanya diera reformasi saja pendoliman semacam
ini dilakukan, tepatnya pada masa Orde Lama Tahun 1951 – 1956, wartawan Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar. mengendus sebuah tindak korupsi yang
dilakukan Ruslan Abdulgani (Menteri Luar Negeri era PM Ali Sastroamidjojo). Pemberitaan dugaan korupsi Ruslan Abdulgani menyebabkan sebuah koran yang
mengeksposenya kemudian di bredel. Pendoliman
yang dilakukan sang menlu itu, adalah berdasarkan pengakuan Lie
Hok Thay yang memberikan satu setengah juta rupiah kepada Ruslan Abdulgani, untuk mendapatkan tender ongkos cetak kartu suara pemilu. Kasus tersebut
disemat sebagai Kasus14 Agustus 1956.
Tindak pidana korupsipun tak luput dilakukan oleh negarawan
besar pendiri Orde Baru. Kita akui
bersama bahwa kala itu Soeharto berhasil melakukan perubahan besar pada
beberapa sektor, seperti pendidikan, keluarga berencana, kesehatan ,
keamanan dan stabilitas politik, keutuhan wilayah Indonesia .
Selama negarawan yang piawai ini menanamkan rezimnya terdapatnya
kebocoran anggaran negara sebesar 30 % , sebagai akibat budaya korupsi
yang diidap oknum mpejabat negara dari bawah hingga pusat,
menyebabkan kian terperosoknya Indonesia dalam badai krisis dan Soehartolah
yang pertama kali dituding sebagai penyebab kehancuran ekonomi
Indonesia.. Sehingga pada Tahun 1977 terjadilah gelombang demo
besar – besaran yang menuntut pengunduran diri Soeharto. Termasuk
tuntutat Soeharto atas tuduhan korupsi selama 30 tahun, melalui yayasan –
yayasan yang didirikan keluarga Soeharto.
Hasil penyidikan kasus tujuh yayasan Soeharto menghasilkan berkas
setebal 2.000-an halaman. Berkas ini berisi hasil pemeriksaan 134 saksi fakta
dan 9 saksi ahli, berikut ratusan dokumen otentik hasil penyitaan dua tim yang
pernah dibentuk Kejaksaan Agung,
sejak tahun 1999. Menurut Transparency
International, Soeharto menggelapkan uang dengan jumlah terbanyak
dibandingkan pemimpin dunia lain dalam sejarah dengan perkiraan 15–35 miliar
dolar A.S. selama 32 tahun masa pemerintahannya
Bukan sang jenderal yang murah senyum itu saja, tetapi oknum pejabat
lainnya telah berhasil diendus melakukan pendoliman uang Negara, terbukti pada 17 Oktober 2006, Kejaksaan Agung Republik Indonesia
mulai menayangkan foto dan menyebarkan data para buronan tindak pidana korupsi
yang putusan perkaranya telah berkekuatan
hukum tetap. Data dan foto 14 belas koruptor tersebut direncanakan
ditayangkan di televisi
dan media massa
dengan frekuensi seminggu sekali.
Specifikasi pemberantasan
tindak pidana pendoliman uang negara di era SBY adalah sikapnya yang tidak melakukan intervensi
kekuasaan kepada aparat penegak hukum (KPK dan Kejaksaan Agung RI). Kinerja
instrument SBY dalam membrantas Gayus-Gayus lain telah terbukti secara
signifikan, salah satu contohnya adalah ketika jaksa Urip Tri Gunawan
tertangkap tangan KPK, saat menerima uang suap sekitar Rp 5,8 miliar,guna
memetieskan kasus BLBI.
Bila kita cermati kasus-kasus di atas, terdapat suatu indikasi bahwa
moralitas para oknum pemimpin nasional telah mengalami degradasi dari rezim satu ke rezim
lainnya, sebagai suatu bentuk pembunuhan karakter bangsa yang santun, ramah dan
berbudaya luhur serta tidak meninggalkan budaya malu. Namun karakter bangsa
yang telah membahana ke tiap pelosok dunia ini, telah berubah menjadi suatu
karakter bangsa yang anarkis, degradasi moralitas hingga terkikisnya budaya
malu nasional, maraknya White Collar
Crime , hedonisme dan seabreg
perlilaku yang membentuk peradaban baru (New
Civilisation).
Peradaban dapat juga digunakan dalam konteks luas untuk merujuk pada
seluruh atau tingkat pencapaian manusia dan penyebarannya (peradaban manusia
atau peradaban
global). Istilah peradaban sendiri sebenarnya bisa digunakan sebagai
sebuah upaya manusia untuk memakmurkan dirinya dan kehidupannya. Maka, dalam
sebuah peradaban pasti tidak akan dilepaskan dari tiga faktor yang menjadi
tonggak berdirinya sebuah peradaban. Ketiga faktor tersebut adalah sistem pemerintahan, sistem ekonomi, dan
IPTEK.
Urgensi pencapaian kesejahteraan hidup suatu masyarakat berdasar
nukilan wacana definisi peradaban terebut, memang telah bergulir bagitu saja, bersama
dengan dengan sikap mental “gayus” yang serba ingin menggapai kelezatan duniawi
secara instant. Dan kasus demikian telah menjadi hal yang biasa bagi sebagian
oknum yang memiliki kesempatan melakukannya. Alasan tersebutlah yang
mencendrungi terbentuknya sebuah peradaban baru di era modernisasi Bangsa Indonesia .
Sebuah peradaban yang memiliki ciri hilangnya rasa malu nasional dan tendensi
pendoliman uang negara, yang melibatkan institusi. Sutherland ( 1994 ) menyatakan terdapat kekhasan tentang
tindak pendoliman hukum yang dilakukan oleh oknum pejabat ( white collar crime ), yaitu dilakukan
oleh pihak yang memiliki status sosial tinggi, menyertakan kelembagaan tetapi
jauh panggang dari api terhadap misi awal lembaganya yang diusung. Sehingga
yang tertanam dalam diri kita, sebagai anak bangsa yang mendambakan negara yang
sentosa tentunya praktek pendoliman model “gayus” haruslah segera dibumikan.
Betapa tidak selama Perioda 2004 s / d 2008, uang negara yang telah
diselamatkan dari tindak pendiliman ini, adalah ± 8, 4 trilyun rupiah (Kejaksaan RI, 2009).
Tentunya jumlah ini akan membengkak bila kita analisis selama perioda 2008
hingga sekarang
Langkah terpadu dan tepat, dalam koridor transparansi dan
independensi perangkat keras pembumi-hangusan pendoliman (KPK, Kejaksaan RI dan
POLRI) harus serasi derngan perangkat lunak yang mampumenginternal ( moralitas).
Guna penyelamatan negara kita dari life
style hedonisme yang menjadisebuah peradaban baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar